Makanan mereka sudah habis disantap sekitar 15 menit yang lalu. Dan kini adalah sesi bercengkrama ria. Di meja sebelah kanan yang berisikan Sadam, Seungmin, Jisung dan juga pacarnya — Minho sangat berisik sekali. Sebab, tak lain dan tak bukan mereka tengah membicarakan anime.
Sedangkan di meja kiri tampak sunyi, hanya ada dua pasang sejoli yakni Cakra dan Senja yang asyik mengobrol. Chris di sana ia sedang menahan rasa cemburu dan sibuk memandang kekasihnya dengan aura yang mencekam. Sebab, sang kekasih terlalu asyik bersenda gurau bersama Sadam di sebelahnya. Sagara sendiri yang berada di depan Chris hanya memainkan ponselnya dengan tenang.
Samudra yang sedari tadi hanya sibuk menulis jurnal pun akhirnya menutup buku tersebut. Ia melirik jengah Abangnya yang tengah asyik bermesraan, lalu menengok ke arah Sagara.
“Mau ngobrol di luar?” tawarnya.
Sagara menengok, “Ah, iya boleh.”
Samudra membawa Sagara ke area depan restoran dan duduk di bench yang tersedia di sana. Sejujurnya Sagara merasa sangat canggung. Sebab, sedari awal bertemu dengan Samudra ia sama sekali belum berkenalan dengan sepupu Sadam yang satu itu. Ia hanya tahu bahwa Samudra baru saja pindah dari Surabaya beberapa bulan yang lalu. Mangkanya logat anak itu masih sangat kental sekali, dan Sagara pun memakluminya.
“Dari awal kita belum kenalan.”
Sagara menengok dan mendapatkan Samudra yang tengah menjulurkan tangannya tanpa senyum sedikitpun.
“Aku Samudra, sepupunya Sadam dari pihak Mamahnya.”
“Sagara.”
Samudra melepas jabatan tangannya. “Nama kita sama ya, artinya laut.”
Sagara mengangguk, “Iya.”
Setelah itu keadaan pun kembali canggung. Dan selama kecanggungan berlangsung Sagara hanya menatap cafe tempat ia bekerja paruh waktu yang berada tepat di seberang sana dengan sesekali netranya melirik kendaraan yang berlalu lalang di jalan raya.
Sret!
Lamunan Sagara seketika buyar kala Samudra memasangkan sebuah jaket di tubuhnya. Ia pun menatap Samudra dengan ekspresi yang terkejut sekaligus bingung.
“Jaket mu kan ditinggal di dalem. Jadi, pakai jaket ku aja, ya? Dingin.”
Samudra yang mengatakan hal itu tanpa ekspresi apapun membuat Sagara menjadi canggung dua kali lipat. Ia pun membuang muka ke arah bawah untuk menyembunyikan rasa gelisahnya.
Duh, ini adegan apaan, sih? Sepupunya Sadam yang satu ini emang selalu dingin seperti ini, ya? Eh tapi, tadi itu malah jatuhnya dia perhatian gak, sih?
“Sadam itu selalu ngomongin kamu ke aku lho, Sa.”
Dengan cepat Sagara menengok ke arah Samudra. Dan pada saat itu juga akhirnya Sagara dapat melihat senyum yang terukir di wajah Samudra kala laki-laki itu sedikit terkekeh.
“Rasanya gumoh banget tiap denger dia cerita.”
Sagara yang mengira jika perilakuan Sadam membuatnya risih pun meminta maaf.
“Maaf ya kalau itu — ”
“Enggak-enggak.” Dengan cepat Samudra mengibaskan tangannya — memberikan tanda bahwa yang tengah dipikirkan Sagara itu tidaklah benar.
“Aku cuma pengen kamu tau kalau Sadam itu cinta banget sama kamu. Sampai-sampai dia selalu cerita tentang kamu ke orang-orang terdekatnya.”
Samudra tersenyum, “Aku juga sama kayak kamu lho, Sa. Lagi di fase belum bisa merelakan, dan juga pernah ngerasain ditinggal pergi selamanya sama orang yang kita cinta. Dan itu empat sekaligus. Bapak sama Ibuku, terus Kakek sama Nenekku yang selalu ngerawat aku semenjak kedua orang tuaku meninggal.”
Sagara yang mengerti arah pembicaraan samudra pun mengangguk. Ini pasti tentang dirinya yang belum bisa menerima Sadam karena masih terjebak di masa lalu.
“Kalau boleh tau mereka meninggal kenapa?” tanya Sagara.
“Orang tuaku kecelakaan, kalau Kakek Nenekku mereka ditembak sama orang dan meninggal.”
“Kok bisa?!!” Sagara refleks memajukan tubuhnya karena terkejut.
Dengan santai Samudra menjawab. “Saingan bisnis Papahnya Sadam. Jadi, waktu itu kami sekeluarga habis ngadain dinner di resto punya Mamahnya Sadam. Pas di luar Kakek dari jauh ngeliat ada orang yang ngarahin pistol ke arah anak perempuannya, Tante Sandra — Mamahnya Sadam. Kakek yang ngeliat pun langsung ngelindungin anak perempuannya itu. Dan gak tau kenapa peluru terakhir malah ditembak ke arah Nenekku.” Samudra tersenyum kecut dan menggeleng. “Agak dramatis emang.”
“Dan karena itu juga media malah nyebarin berita palsu — ngefitnah kalau Papahnya Sadam yang ngelakuin itu supaya warisan Kakek cepet jatuh ke tangan Sadam. Padahal Sadam sendiri juga kena tembak di lokasi yang beda.”
“Sadam?” Sagara yang tak percaya itu bertanya untuk memastikan.
Samudra mengangguk, “Iya, Sadam. Waktu itu sebelum selesai dinner dia udah izin pamit duluan untuk ketemu sama temennya,” jelas Samudra dengan memberikan senyuman di akhir kalimatnya.
“Sebelum ditembak dan akhirnya koma, Sadam sempet ketemu sama orang yang puaaaling dia cinta tau, Sa,” ujar Samudra dengan logat khas Surabaya nya. “Sadam juga pindah sekolah ke Tirtayasa karena ada orang itu.”
Entah mengapa tiba-tiba hati Sagara menjadi sangat sesak kala mendengar semua pernyataan yang keluar dari bilah bibir Samudra.
“Sadam suka sama orang lain, ya?”
“H–hah?” Samudra sempat berpikir sebentar, lalu ia tertawa. Sagara ini memang polos atau tidak peka, sih?
“Orang itu kamu, Sa. Orang yang ditemuin Sadam sebelum dia ditembak dan koma itu adalah kamu. Sadam juga sebenernya emang disuruh pindah sekolah ke tempat swasta yang jarang orang tau buat ngehindarin kejadian sebelumnya. Dan Sadam lebih milih pindah sekolah ke Tirtayasa karena ada kamu, Sagara Mahesa. Dia pingin ketemu kamu.”
“Ini bohong, ya?” tanya Sagara dengan tatapan yang tak percaya.
Samudra mengulum senyumnya dan menggeleng. “Gak, Sa. Aku cerita ini semua supaya kamu tau kalau Sadam itu cinta banget sama kamu.”
“Berarti cowok yang gue temuin pas dikejar-kejar itu beneran Sadam?” tanyanya yang diangguki oleh Samudra.
“Tapi kenapa, Sam? Kenapa Sadam segitunya cinta sama gue sampe milih satu sekolah sama gue? Kami bahkan ketemu satu malam doang.”
Samudra menggeleng, “Maaf Sa, aku gak bisa cerita lebih lanjut. Dan juga — kemungkinan habis lulus nanti Sadam bakal kuliah di luar negeri atau bahkan menetap di Surabaya untuk ngurus bisnis Kakekku yang ada di sana. Aku gak mau kamu nyesel dan ngerasa kehilangan untuk yang kedua kalinya.”
“Luar negeri? Surabaya?”
“Iya. Awalnya bisnis Kakekku emang bakal diwarisin ke aku. Tapi, karena aku gak mau berkecimpung di dunia bisnis, jadilah Sadam yang ambil alih. Mas ku — dia udah megang perusahaan penerbitannya Bapak. Jadi, mau gak mau Sadam megang bisnis Kakekku di Surabaya yang sekarang lagi diurus sama Papahnya.”
“Sebenernya aku juga yakin kok kalau Sadam punya keinginannya sendiri selain nerusin bisnis keluarganya itu. Kamu coba tanya aja ke Sadam sendiri. Hitung-hitung pendekatan. Kamu belum tau banyak tentang Sadam kan pasti?”
Sagara mengangguk. Perkataan Samudra benar adanya. Ia tak tahu banyak tentang Sadam. Bahkan, hal sebesar ini ia pun tak tahu. Dalam hubungan ini selalu saja laki-laki itu yang tahu segala hal tentang dirinya.